6 Buku Klasik Terbaik yang Saya Baca di Tahun 2022


Tahun ketiga jadi kutu buku! Masih kemarin. Perjalanan masih panjang, dan proses belajar juga masih panjang. Tapi beruntung tahun ini gairah membaca cenderung konsisten. Kedewasaan semakin membuat saya sadar bahwa membaca sudah seperti kebutuhan yang sama kayak makan. Udah kaya desert, udah kaya kebutuhan ngopi dan ngobrol sama teman, ungkapku dalam sebuah percakapan.

Sedang berada pada tahap kalau dalam sehari nggak menghabiskan waktu minimal 30 menit untuk baca satu atau dua chapter novel (yess, saya penikmat novel dan buku-buku sastra :) ) rasanya kayak ada yang hambar. Ditambah dengan keaktifan saya dalam kleb baca setahun belakangan ini yang secara nggak langsung mendukung dan memberi ruang untuk semakin gemar membaca, juga belajar dan berbagi. Jalin pertemanan, bertukar pengalaman, kegiatan membaca menjadi semakin menyenangkan.

Ternyata tahun ini masih didominasi dengan karya-karya klasik dunia, dan enggak jarang rupanya karya English Classics juga masih dalam reading list. Perjalanan saya hingga akhirnya ‘bertemu’ dengan classics ini juga mengalami proses yang panjang, juga dengan proses membaca yang panjang. Dan harus saya akui hobi saya yang perusing buku klasik selama dua 2 tahun terakhir ini sangat life changing. Masih dalam tahap berproses emang, tapi entah mengapa saya merasa skill reading saya begitu meningkat. Hingga sampai pada momen dimana saya merasa bacaan saya mirip anak jurusan Sastra Inggris. Well, karena emang sedang berminat di bidang itu. Hehe.

Jadi inget dulu awal-awal mengunyah “Far From the Madding Crowd” nya Thomas Hardy, atau “Emma” nya Jane Austen, karena begitu alien dengan kosakatanya, saya pernah berada pada tahap otak menguap sendiri karena susunan kalimat waktu itu dan Bahasa Inggrisnya yang kompleks. 

Tapi berhubung selama pandemi ada banyak space dan waktu belajar, dan tiap hari hampir baca buku, dan hampir tiap hari juga buka tutup tutup kamus dan mencari tahu vocab baru, akhirnya jadi terbiasa. Saya sempat kaget rupanya sudah lumayan banyak beberapa klasik yang berhasil saya khatamkan. Mungkin karena antusias juga, dan sangat menikmati prosesnya, akhirnya rasa intimadasi soal classics jadi semakin berkurang, dan semakin hari jadi merasa less daunting. Malah jadi terus tertantang. (Yes, I finisihed 'War and Peace' during pandemic! And it was AMAZING!! :D )

Saya suka tema-tema universal yang diangkat di klasik, suka prosanya, suka ceritanya, dan juga karakter-karakternya. Yang seru juga saya bisa sekalian belajar “influence” seorang pengarang yang ternyata juga menarik. Dan setiap kali namatin satu klasik, jadi ingin lanjut ke karya berikutnya, berikutnya dan seterusnya. Setidaknya itu yang saya alami.

Oke. Saya bukan ekspert di bidang Classics tapi kapan-kapan kita berbagi pengalaman dan tips membaca klasik ya! Saya punya beberapa alasan kalau classics can also be fun! Dan juga bisa inklusif asal perlu ketelatenan. Insha allah ya kawan-kawan di postingan selanjutnya.

Ohya karena ini postingan blog pribadi bukan paper atau tugas kuliah, jadi sebisa mungkin saya menulisnya dengan bahasa yang sesantai mungkin :D . Lagian, terlepas dari apa yang dia baca, semua orang bebas menikmati dan mendapat kesan dari sudut pandang apapun dan bagaimana pun. 

So, here we go! Berikut adalah 6 buku terbaik dan paling berkesan tahun ini, yang sepertinya akan menjadi buku-buku yang akan saya kunjungi lagi di beberapa tahun mendatang (reread), yang akan saya baca ulang ketika saya lebih dewasa pemahamannya nanti.

1. MIDDLEMARCH (1871) – George Eliot


Setelah berhasil nglarin "War and Peace" tahun lalu, semakin kesini jadi semakin berkurang rasa ketakutan saya dengan buku bantal. Ini juga buku bantal yang enggak pernah kusangka bakal habis kulahap. Tertarik membaca Middlemarch karena membaca subjudulnya, ‘A Study of Provincial Life’, juga setelah sebelumnya suka dengan Silas Marner (1861) dari author yang sama yang saya baca dan diskusikan bersama dengan teman-teman pembaca klasik @time_trespassers. 

Sebagai orang yang tinggal di kampung dan senang dengan novel-novel Victoria, tidak sulit bagi saya jatuh cinta dengan buku ini. Agak challenging emang, juga demanding, butuh waktu kurang lebih dua bulan bagi saya buat mengunyah buku setebal 800an halaman ini.

Middlemarch ini tebel, kompleks, konfliknya jeru (tiap chapter di bangun dengan konflik yang benar-benar bikin kita lanjut terus), tema-temanya mengangkat hampir semua aspek kehidupan sehari dan hubungan antar manusia. Mulai dari pernikahan, agama, politik, sejarah, seni, gender, kedudukan science, bagaimana kita hidup bermasyarakat, dinamika keluarga, cinta, status, muda vs tua, dan lain-lain. Bener-benar luaaas banget isinya. Wajar juga mengapa ini menjadi mata kuliah wajib di beberapa kampus Jurusan Sastra Inggris di dunia.

Karakter-karakternya kaya, plotnya saling berhubungan dan hampir nggak ada celah. Sesuai dengan sub judulnya ‘a study’, ada momen dimana ketika saya membaca buku ini saya benar-benar sedang mencermati isu-isu yang menarik perhatian George Eliot, yang membuat semua gambaran perihal hidup dan masyarakat terlihat begitu gamblang dan jelas. Karakter-karakternya kayak real people.

Dan situasi psikologi tiap karakter juga menarik. Misalnya, momen ketika Dorothea muda yang baru menikah dan berperang dengan jiwanya ketika mengetahui orang yang menikahinya diluar ekspektasinya, momen ketika Fred terjebak hutang lantas terus ditekan orang tuanya yang sudah menganggap dia “disappointment’, momen ketika Lydgate sang dokter muda di desa yang harus berperang dengan masalah personal dan profesional ketika dia terjebak dalam situasi politik, momen ketika Will yang terpaksa harus menahan desire nya dia karena jatuh cinta dengan orang yang sudah menikah, yang berlatar belakang berbeda, dan masih banyak lagi notable konflik lainnya. ASLI SERU BANGET!

Dan setting waktunya juga benar-benar kayak tempat beneran. Ini sungguh prestasi dan saya sempat bertanya, “Bisa sedetil ini, I mean how could SHE PULLED THIS OFF? A book like this seems impossible!’ ga berhenti terkagum-kagum betapa devotednya Eliot menulis karya seperti ini. Buku ini punya status tersendiri di kanon sastra Inggris dan akhirnya saya pun jadi paham mengapa. Virginia Woolf secara terkenal pernah menuliskan, “one of the few English novels written for grownup people’. Buku yang jelas mengubah cara pandang saya melihat arti hidup dan arti kebahagiaan. Salah satu buku dengan ending paling BAGUS, INDAH dan paling satisfying yang saya baca. Suatu kebanggan diberi kesempatan menyelesaikan buku mahakarya ini. Middlemarch memang masterpiece.


2. THE WAVES (1931) – Virginia Woolf


Selain akhirnya jodoh dengan Middlemarch, tahun ini juga menjadi tahun saya makin gandrung dengan Virginia Woolf. ‘The Waves’ ini karya ketiga yang saya baca dari Virginia, setelah sebelumnya dibuat kesengsem sama ‘Mrs. Dalloway’ dan ‘To the Lighthouse’.

Masih dengan teknik yang eksperimental dan modernist ala Woolf yaitu aliran kesadaran (stream of consciousness). Ini juga perlu dibaca dengan pelan dan ketelitian, namun juga meski perlu effort untuk memahami maksudnya (karena tiap baris kaya banget maknanya), tiap halaman begitu memikat. Jika dalam Mrs Dalloway dan To the Lighthouse Woolf bermain psikologi karakter, dalam The Waves karakter-karakternya seperti sedang berdialog dengan diri mereka sendiri. Salah satu buku paling puitis, paling estetis yang membuatku semakin mengapresiasi waktu-waktu sendiri dan hanyut dalam refleksi.

Buku yang membuatku kembali berpikir tentang proses pendewasaan dan bagaimana aku tumbuh. “The Waves” adalah buku tentang pertemanan, tentang kematian, tentang menjadi muda, menjadi dewasa, tentang cinta, dan makna hidup.

Salah satu kesan termanis adalah ketika Woolf mendeskripsikan satu karakter bernama Percival yang di buku ini dia nggak pernah bicara. Tapi justru diperbincangkan oleh teman-temannya. Tapi rasa-rasanya membuat pembacanya terkagum untuk juga menyukai karakter ini. Karena solilokui mereka yang indah, kisah Bernard, Neville, Susan, Rhoda, Jinny dan Louis ini pasti akan saya buka lagi ketika saya beranjak dewasa nanti


3. A MIDSUMMER NIGHT'S DREAM (1605) – William Shakespeare

yey, my first Shakespeare!

Kesampaian juga baca Shakespeare. Dan ini yang pertama kalinya dan sangat menikmati. Lagi, ini buku yang dipilih di kleb baca klasik TimeTrespassers yang sudah setahun ini saya gabung.

Drama komedi ini berlatar di Athena, dan terdiri dari beberapa subplot yang berkisar seputar pernikahan Theseus dan Hippolyta. Satu subplot melibatkan konflik di antara empat kekasih Athena. Ternyata seru! kocak! Dan saya sesekali dibikin melting, waduh, bahasa rayuanya Shakespeare rupanya bikin jantung dag dig surr haha. Setelah baca ini, langsung me reward diri buat nonton adaptasi versi 1999 nya yang juga nggak kalah menghibur dan menarik. Buat yang belum pernah baca Shakespeare, sepertinya boleh dicoba. Saya optimis saya akan bisa menyukai karya Shakespeare yang lain. Masih ingin baca Hamlet atau Romeo Juliet suatu saat!

4. TO THE LIGHTHOUSE (1927) – Virginia Woolf


Virginia kedua saya sejak Mrs. Dalloway, yang rupanya juga masuk daftar buku berkesan tahun ini. Lagi-lagi saya dibuat terpesona. To the Lighthouse adalah salah satu karya paling menonjol dalam modernisme yang mengeksplorasi potret sebuah keluarga saat mereka bergulat dengan kehidupan, cinta, pernikahan, kerinduan, dan kehilangan.

 Juga buku bertemakan gender, seni, dampak WW1, pertumbuhan dan kapasitas manusia untuk berubah. Meskipun nggak memiliki banyak plot karena Woolf mengabaikan konsep-konsep novel tradisional, tulisannya memungkinkan kita untuk bisa merasakan, mendengar, mencium, dan melihat. Dan tentu saja, untuk berpikir. Karena tulisan-tulisan Woolf ini filosofis banget.

Cara dia menggambarkan menit kehidupan sehari-hari melalui perasaan batin karakter sangat menarik. Eksplorasi psikologis masing-masing karakter juga intens dan sangat efektif. Saya merasa seperti saya telah hidup dalam pikiran mereka sehingga memungkinkan saya untuk menyelam jauh ke dalam pengalaman emosi manusia dan memahami perspektif mereka. Meskipun terkadang rumit dan lumayan demanding - ya, paling enggak harus meluangkan waktu sejenak untuk bisa fokus dengan prosanya dan pelan-pelan - kalimat puitisnya begitu jelas, tepat, dan penuh makna.

Suka dengan III part di buku ini, tetapi lagi-lagi bagian Time Passes adalah salah satu potret paling vivid dan eksperimental saya baca. Karena baru kali ini saya membaca passage tentang rumah kosong tak berpenghuni tapi deskipsinya benar-benar stunning dan juga kadang bikin merinding. Salah satu buku favorit saya di tahun 2022.

5. THE DEAD (1914) – James Joyce


The Dead ini cerpen terakhir dalam antologi cerpen “Dubliners” karya James Joyce. "The Dead" adalah bacaan yang fenomenal dan halaman terakhir buku ini benar-benar menguras air mata! Senang akhirnya saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi Joyce dengan cerita-cerita brilian dan suram ini. Cara Joyce menceritakan adegan demi adegan dan hal-hal kecil tentang kehidupan Dublin dan orang-orang biasa sangat relatable. Enggak semuanya saya suka, tapi memang The Dead ini yang paling powerful endingnya. “great minds can see things. As the poet says: Great minds are very near to madness,” pg. 190.

6. 1984 – George Orwell



Akhir Mei kemarin saya dan mutual bookish di Twitter diskusi bareng buku ini. Seru. Ini George Orwell kedua yang saya baca setelah Animal Farm, yang juga sangat saya nikmati. Buku ini membuatku semakin paham kemana arah Orwell dan mengapa tulisannya provokatif dan political.  Saya nggak yakin apakah bisa menyumbangkan sesuatu yang baru untuk buku ini, sepertinya semuanya sudah disampaikan. Selama membaca 1984, otak saya otomatis memproyeksikan apa yang ada di buku dengan kondisi masyarakat kita sendiri saat ini. 

Buku ini mengeksplorasi arti kebebasan vs perbudakan. Kebenaran vs kebohongan. Partai vs privasi. Cinta, perang, kekuasaan, dan tirani. Tapi secara keseluruhan, ini adalah buku tentang bahaya totalitarianisme dan apa artinya hidup dan menjadi manusia. Kaya apa rasanya disupress sama system yang menyiksa. Kadang mengerikan, dan terkadang meresahkan. Bahkan sampe sekarang saya masih kepikiran adegan di kamar 101 yang cukup triggering itu. Asli brutal banget. “1984” karya George Orwell memang begitu modern, bakal terus relevan, dan menggugah pikiran. 

Demikian 6 buku klasik yang terbaik yang saya baca tahun ini. Yang juga ingin saya rekomendasikan ke teman-teman yang ingin membaca karya-karya terbaik dari penulis-penulis dunia terbaik.

Ohya, dalam sebulan sekali saya juga mengadakan Diskusi Buku santai via Twitter Space meski masih dalam circle kecil. Tanggal 20 Juni nanti kita juga mau open mic sharing pengalaman membaca ‘Snow Country’ / Daerah Salju karya Yasunari Kawabata. Setelah sebelumnya kami diskusi ‘1984’, ‘Dune’ dan ‘Dr Jekyll & Mr Hyde’. Shoutout untuk teman-teman ‘Buddyreadan Nyepace Kemudian’ dan teman-teman komunitas Chill Readers yang selalu asik jadi teman diskusi buku. Jika senang dengan diskusi art & literature, dan tertarik gabung, sila DM saya di Twitter ya kawan. 😊.

Terima kasih sudah membaca. Sampai ketemu lagi di postingan tentang buku selanjutnya!